
Oleh AZYUMARDI AZRA
Indonesia mengalami transisi dari otoritarianisme sejak 1998. Dalam dua dasawarsa demokrasi, Islam yang merupakan agama mayoritas penduduk juga terus mengalami ‘kebangkitan’ (resurgence). Berbarengan dengan Islamic resurgence yang bermula sejak paroan kedua dasawarsa 1980-an, demokrasi juga sudah sampai pada titik yang tidak mungkin dimundurkan lagi (point of no return).
Menyimak perkembangan Indonesia dan negara-negara Muslim lain, tiga ahli ilmu politik Thomas B Pepinsky, R William Liddle, dan Saiful Mujani dalam buku Piety and Public Opinion: Understanding Indonesian Islam (Oxford: Oxford University Press, 2918) membenarkan argumen John Esposito dan John O Voll dalam Islam and Democracy (1996). Esposito dan Voll menyatakan: “Kebangkitan agama dan demokratisasi adalah dua perkembangan terpenting dalam dasawarsa-dasawarsa terakhir abad 20.”
Dalam Islamic Resurgence, agama ini terlihat kian menonjol di ranah publik. Untuk menyebut beberapa contoh; terus meluasnya pemakaian jilbab dan busana Muslim/Muslimah, terus berlipat gandanya jumlah calon jamaah haji dan umrah, meningkatnya perbankan syariah. Karena itu: [Islam] “terus memainkan peran penting baik di ranah pribadi maupun publik lebih dari satu miliar orang”, tulis ketiga penulis Piety and Public Opinion dalam pengantarnya.
Perubahan dan perkembangan ini tidak mudah dipahami banyak pengamat dan peneliti baik Muslim maupun non-Muslim. “Mereka kesulitan memahami konsekuensi kebangkitan Islam di dunia yang tengah mengalami demokratisasi. Apakah partisipasi politik demokratis populasi yang semakin religius akan mengarah pada kemenangan kaum Islamis di kotak suara pemilu?” Sejumlah pertanyaan terkait lain masih dapat diajukan. Pastilah tidak mudah menjawab banyak pertanyaan semacam itu. Namun, terkait dengan populasi yang kian religius, ada asumsi yang sedikit bertolak belakang bahwa Muslim yang saleh tidak otomatis bakal memilih parpol Islam.
Perilaku politik mereka dapat dipengaruhi persepsi dan kepedulian pada parpol Islam.
Perilaku politik mereka dapat dipengaruhi persepsi dan kepedulian pada parpol Islam. Apakah mereka peduli atau tidak pada parpol Islam; atau apakah mereka percaya pada platform Islam yang dianut parpol bersangkutan sebagai memang benar-benar ‘Islami’ atau memperjuangkan kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Apa yang dimaksud ketiga penulis buku ini dengan ‘kesalehan’ (piety)? Mereka memandang perlu adanya konseptualisasi ‘kesalehan’. Namun, tidak mudah merumuskan konseptualisasi ‘kesalehan’ atau ‘religiusitas’, bahkan dengan menggunakan kerangka normatif sekalipun.
Hal ini terkait kenyataan, pemahaman, dan praksis Islam tidak monolitik; konseptualisasi ‘kesalehan’ bisa berbeda di antara berbagai aliran, mazhab, atau kelompok Muslim— misalnya di antara Salafi dengan aliran Suni lain; dan tentu saja juga antara Suni dan Syiah atau di antara berbagai aliran Syiah.
Menghadapi kesulitan konseptualisasi, ketiga penulis memulai dengan empat asumsi pokok. Pertama, kesa leh an adalah milik individu; walaupun ada kesalehan publik, akhirnya kesalehan berakar pada individu. Kedua, kesalehan individual tidak dapat diobservasi karena kesalehan adalah keadaan mental internal. Ketiga, kesalehan bersifat multifaceted—dapat tampil dalam berbagai bentuk. Keempat, kesalehan bersifat a-political. Dengan empat asumsi itu, ketiga penulis memulai konseptualisasi kesalehan dengan mengakui, terkait dengan teologi Islam, kesalehan keislaman memerlukan kepercayaan dan pengamalan lima rukun Islam.
Muslim yang mempercayai dan menjalankan rukun Islam lebih memiliki kesalehan dibanding Muslim yang tak sepenuhnya mempercayai dan mempraktikkannya. Akhirnya konseptualisasi kesalehan keislaman menurut ketiga penulis mencakup ibadah atau ritual, orientasi, dan perilaku.
Ritual menunjukkan ketaatan pada rukun Islam; orientasi mencerminkan kepercayaan individu tentang hubungannya dengan Islam; dan perilaku memperlihatkan praktik yang tidak mengandung bobot teologis khusus, tetapi mencerminkan keimanan-keislaman.
Akhirnya konseptualisasi kesalehan keislaman menurut ketiga penulis mencakup ibadah atau ritual, orientasi, dan perilaku.
Dengan kerangka seperti itu, seberapa tinggi tingkat kesalehan Muslim Indonesia seperti ditemukan ketiga penulis Piety and Public Opinion? Hasil nya bagi sebagian orang mungkin mencengangkan. Hampir seluruh Muslim Indonesia menyatakan agama penting (20,7 persen) dan sangat penting (79.0 persen); berpikir tentang agama (sering 43,0 persen) dan selalu (47,7 persen); shalat lima waktu, sering (21,3 persen) dan selalu (66,4 persen); puasa Ramadhan, sering (14,2 persen) dan selalu (81,6 persen); membayar zakat setelah Ramadhan, sering (12,2 persen) dan selalu 83,7 persen).
Skor Muslim Indonesia lebih rendah dalam hal regularitas membaca Alquran dan mengerjakan shalat sunah. Mereka juga tidak rajin menghadiri majelis taklim atau ikut dalam tahlilan ketika ada anggota jamaah yang wafat. Tingkat kesalehan yang tinggi dalam ibadah mahdhah seperti mengerjakan shalat dan puasa atau membayar zakat tidak mengagetkan. Profesor Nikki Keddie dari UCLA menemukan (1986), lelaki Muslim Jakarta memiliki tingkat kesalehan tinggi; lebih rajin shalat Jumat dibanding Muslim di Kairo dan Tehran.
Selanjutnya kecenderungan yang sama juga ditemukan Profesor Riaz Hassan dari Adelaide University. Dalam penelitian bertajuk Faithlines: Muslim Conception of Islam and Society (2003), Hassan menemukan Muslim Indonesia menduduki skor tertinggi kesalehan dalam soal aqidah, ibadah, dan muamalah dibandingkan dengan Muslimin di sejumlah negara lain.
Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 26 Juli 2018. Prof Azyumardi Azra (1955-2022) adalah cendekiawan Muslim terkemuka dan mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah.