
REGIONAL NEWS.ID, TANJUNGPINANG – Masyarakat pelaku usaha hingga ibu rumah tangga meminta Aparat Penegak Hukum (APH) segera mengambil langkah hukum menertibkan peredaran beras diduga oplosan dibeberapa lokasi di Kota Tanjungpinang.
Salah seorang ibu bernama Maya menceritakan setiap membeli beras premium satu sampai dua kali pembelian berasnya masih bagus dengan cita rasa seperti biasanya, namun ketika membeli untuk ketiga kalinya, rasanya sudah jauh berbeda dari beras sebelumnya, Kamis (16/1/2025).
“Saat membeli satu sampai dua kali pembelian beras masih bagus dan rasanya juga masih enak. Kemudian ketika membeli beras dengan merk yang sama untuk ketiga kalinya, rasanya sudah berbeda, warna berasnya juga lain. Sampai saya memutuskan pindah ke merk lain, tapi tetap saja rasa dan warna berasnya tidak seperti biasanya,” bebernya.
Saya sempat protes ke warung tempat saya membeli beras, namun pemilik warung meminta beras ditukar. Belanja beras di toko lain juga kejadiannya sama. Sampai pada akhirnya saya berkesimpulan tidak ada beras yang asli seperti yang biasa kami beli, katanya kesal.
Pedagang gerai lontong, Emi menceritakan pengalamannya pernah bertengkar dengan salah satu pemilik toko penjual beras, karena beras yang dia jual selalu berubah-ubah isi dan kualitas berasnya.
“Saya membeli beras kemasa 5 kilo sebanyak 2 kampit, namun baru terpakai 1 kampit. Satu kampit saya kembalikan kepada penjual karena cita rasa dan kualitasnya berbeda dari biasanya,” bebernya.
Kecurigaan masyarakat tentang beras oplosan dijelaskan oleh salah seorang mantan pekerja salah satu gudang beras di Tanjungpinang bernama Man. Ia mengatakan beragam jenis beras oplosan beredar luas di pasaran. “Beras Bulog mereka kemas ulang dengan kemasan beras premium, kemudian di jual dengan harga yang cukup mahal,” ungkap Man.
Ia menceritakan di gudang pengoplosan sudah tersedia berbagai merk kemasan/karung berbagai merk. Merk beras yang sangat laris menjadi sasaran untuk di mixing (campur), bahkan jenis beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) atau beras bulog, paling banyak dimainkan oleh mafia beras.
“Pengoplosan didominasi beras premium yang di-mix dengan SPHP, dijual harga tinggi. Saat aku masih bekerja sama toke beras, saya banyak tahu dan mengenal permainan pengoplosan beras. Bahkan beras Bulog dijual melebihi harga HET, mengunakan beragam modus yang jarang diketahui dan diperhatikan pembeli,” ucapnya.
Hal ini ini menjadi ancaman bagi masyarakat yang harus ditindak lanjuti oleh APH. Menurutnya, untuk menekan peredaran beras oplosan di pasaran, pihak Bulog Tanjungpinang harus lebih selektif dan perkuat pengawasan di sejumlah penerima jatah Bulog, Rumah Pangan Kita (RPK), penyalur, sampai ke pedagang eceran.
Peluang kejahatan ini terjadi, karena mendapatkan jatah beras Bulog yang besar, dan terjadi penyalagunaan SPHP. Petugas Bulog harus diperketat jangan sampai terjadi kecurangan untuk melebihi jatah SPHP ke penerima. Hal ini salah satu pemicu kenapa harga beras terus naik, dan tidak pernah mengalami penurunan harga.
Cek data pengiriman distributor maupun mitra Bulog lainnya. Dari data Bulog, permintaan beras SPHP di Pulau Bintan (Tanjungpinang-Bintan) termasuk tinggi, Per hari capai 15 -20 ton. Kemana 20 ton itu disalurkan dengan benar dan harga yang sesuai.
“Untuk warna dan aroma beras premium dan oplosan itu sulit dibedakan, sebab ada parfum khusus yang disemprot ke beras oplosan sehingga aromanya mirip beras premium atau lokal. Begitu juga warna, ada pewarna beras yang membuat warnanya mirip kualitas premium,” ungkapnya, seperti dilansur dari laman Keprinews.co
Menyoal tempat oplosan, para mafia beras sudah ekstra hati-hati. Tempat mengoplos sudah tersendiri di tempat khusus yang tidak terkontaminasi dengan aktivitas jual beli dan orang luar. Beras biasa yang disulap menjadi premium seutuhnya, itu tidak dijual langsung, atau dijual di gudang berasnya, tapi dijual dengan menggunakan sales atau mobil box yang seakan-akan distributor luar, untuk menghindari pelacakan kejahatan oplosan.
Hal ini jelas melanggar UU nomor 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen atau Pasal 143 Jo Pasal 99 dan Pasal 144 Jo Pasal 100 ayat 2, UU nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan dengan ancaman paling lama 5 tahun penjara.