REGIONAL NEWS.ID, JAKARTA – Kekuatan politik Islam semakin ke sini semakin memudar dan terpecah atau terfragmentasi ke dalam arus kekuatan politik kelompok nasionalis.
Padahal, kata pengamat dan peneliti Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, kekuatan politik Islam ini sebenarnya sudah menjadi bagian dari sejarah politik di Indonesia.
Siti Zuhro mengatakan saat ini setidaknya hanya ada dua kelompok kekuatan partai Islam yang masih bisa disebut menyuarakan kepentingan umat Islam.
Yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), karena keduanya masih berideologi Islam, walaupun ada beberapa partai lain seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai partai berbasis ormas Islam.
“Kekuatan politik Islam kini telah terfragmentasi ke dalam kekuatan politik lain, sehingga semakin tidak diperhitungkan. Bagitu juga tidak ada lagi tokoh-tokoh politik Islam yang kuat dan mampu menjembatani antarkelompok Islam, sementara kampanye anti politik identitas kian kuat. Ini semakin memperlemah kekuatan politik Islam,” jelas analis politik yang akrab disapa Mbak Wik ini, Selasa (1/11/2022).
Padahal sejatinya, terang dia, antara politik identitas dan politik Islam itu sebenarnya sangat berbeda. Dimana politik Islam, menurut dia, lebih mengedepankan nilai kebajikan dalam Islam yang rahmatan lil alamain, dengan nilai persatuan, nilai kemajemukan, nilai kemajuan, anti dengan kemunafikan dan sebagainya.
Namun, karena ada pihak yang tidak ingin kekuatan politik umat Islam ini besar dan dominan, maka dia menilai, dimainkanlah isu anti politik identitas untuk menyerang juga kekuatan politik Islam.
Sementara partai-partai yang masih konsisten memperjuangkan nilai nilai keislaman, bukan perpecahan dan identitas semata selalu diberi stigma negatif oleh beberapa kalangan. Seperti pendukung khilafah, anti Pancasila dan pro asas syariat Islam dan lainnya.
Di sisi lain, ujar dia, ancaman perpecahan juga membuat partai dengan kekuatan Islam, semakin rapuh. Sementara, ia menilai tokoh Islam yang akan muncul juga tidak bisa menjembatani banyak kekuatan kelompok Islam di Indonesia.
“Akhirnya sekarang kita lihat sekarang banyak bermunculan partai Islam baru, ada partai Ummat, belum lagi yang lama ada PBB ada Partai Masyumi. Sedangkan PPP dan PKS terfragmentasi ke dua kekuatan politik. Jadi bisa dikatakan fragmentasi ini membuat kekuatan Islam semakin tidak dominan,” paparnya.
Kondisi ini, menurut dia, sangat berbeda jauh seperti era awal pemilu Indonesia di Orde Lama, dimana ada kekuatan Masyumi yang cukup kuat. Kemudian era Orde Baru ada kekuatan PPP yang bisa jadi penyeimbang, termasuk di era pemilu awal Reformasi 1999 ada kekuatan politik Poros Tengah yang juga cukup diperhitungkan.
Setelah itu sejak 2019, menurut dia, kekuatan politik dan tokoh umat Islam semakin terpecah, terfragmentasi dan akhirnya semakin tidak diperhitungkan. Kondisi tersebut, ia nilai juga terlihat saat ini. Ketika ada nama bakal calon presiden, ternyata kekuatan partai politik Islam atau tokoh Islam bukan sebagai penentu.
“Kekuatan partai politik Islam dan tokoh Islamnya hanya sebagai pendukung, itu pun terfragmentasi dan bukan sebagai penentu,” ujar Siti.
Sementara ada kekuatan dan tokoh Islam lain, terlihat tidak berani muncul karena khawatir jadi sasaran kampanye anti politik identitas. Padahal, jelas Siti, mereka bukan bagian dari politik identitas yang sering dituduhkan anti ke bhinekaan, anti Pancasila dan menyeru perpecahan.
“Politik identitas yang membuat perpecahan itukan tuduhan, sengaja untuk menyamaratakan seolah Islam sama dengan politik identitas yang mengajak ke perpecahan. Padahal sebenarnya bukan seperti itu, politik Islam itu adalah politik yang justru mengedepankan kemajuan bangsa,” tegasnya.
Menurut dia, kampanye seperti inilah yang akhirnya membuat kekuatan kekuatan politik Islam semakin memudar. Ditambah dengan kekuatan media sosial, maka semakin terfragmentasi kekuatan politik dan tokoh Islam.
Maka wajar menurut dia, apabila ada potensi kekuatan politik Islam dan tokoh Islam muncul, maka langsung diserang dengan berbagai isu politik identitas, untuk meredam kekuatan Islam tersebut.
SUMBER: REPUBLIKA
EDITOR: REDAKSI