NASIONAL

Wacana Restorative Justice Kasus Tipikor Terus Dikritisi

115
×

Wacana Restorative Justice Kasus Tipikor Terus Dikritisi

Sebarkan artikel ini
Johanis Tanak melambaikan tangan sebelum dilantik sebagai wakil ketua KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (28/10/2022).

REGIONAL NEWS.ID, JAKARTA — IM57 Institute mengkritisi pernyataan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru saja dilantik Presiden Joko Widodo, Johanis Tanak, soal kemungkinan penerapan restorative justice (RJ) dalam kasus tindak pidana korupsi (tipikor).

Organisasi antikorupsi besutan eks pegawai KPK ini menilai, konsep tersebut tidak dapat digunakan pada kasus kejahatan luar biasa seperti korupsi. “Konsep restorative justice untuk kasus korupsi tidak bisa diterapkan, karena berdasarkan UNCAC (United Nations Convention Against Corruption), kejahatan korupsi termasuk kejahatan luar biasa, bersama-sama narkotika dan terorisme,” kata Ketua IM57 Institute, Praswad Nugraha, dalam keterangannya, Ahad (30/10).

Praswad pun meminta Johanis Tanak lebih banyak belajar lagi soal konsep restorative justice. Sebab, tidak ada obat yang sama terhadap seluruh jenis kejahatan. “Jika kita terapkan restorative justice, semua pelaku korupsi akan menganggap korupsi seperti berdagang, transaksional saja. Jika ketahuan dan ketangkap tinggal bayar, jika tidak ketahuan selamat,” jelas dia.

Dia juga meminta sejumlah pihak berhenti berupaya mereduksi kejahatan luar biasa tindak pidana korupsi menjadi kejahatan biasa saja. Dampak yang timbul akibat korupsi dirasakan oleh seluruh masyarakat. “Mau sampai kapan Indonesia ini terus terpuruk menjadi bangsa yang korup?” kata dia.

Presiden Joko Widodo melantik Johanis Tanak sebagai wakil ketua KPK, di Istana Negara, Jumat (28/10). Johanis menggantikan Lili Pintauli Siregar yang mengundurkan diri karena diduga terlibat berbagai kasus gratifikasi.

Saat mencalonkan diri sebagai pengganti Lili, Johanis membawa wacana penyelesaian kasus korupsi dengan konsep restorative justice atau dengan jalan damai di luar pengadilan. “Itu kan cuma opini, bukan aturan, tapi pandangan sebagai akademisi tentunya bisa saja. Tapi bagaimana realisasinya tentu nanti lihat aturan,” kata Johanis usai dilantik di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat.

Walau begitu, KPK mengaku masih mengkaji penerapan restorative justice. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menekankan, KPK selalu terbuka terhadap aspirasi tentang cara pemberantasan korupsi yang berlandaskan asas keadilan. Termasuk, tentang penerapan restorative justice dalam penanganan kasus korupsi.

“Sampai saat ini kami masih melakukan kajian tentang penerapan restorative justice pada tindak pidana korupsi. Ini adalah proses pencarian bentuk bagaimana agar proses hukum itu benar-benar menyelesaikan masalah bangsa ini dari tindak pidana korupsi,” kata Ghufron dalam keterangan tertulis, Ahad (30/10).

Menurut Ghufron, melihat konsep restorative justice, tindak pidana korupsi memiliki perbedaan dengan pidana umum. Di mana pada satu kasus tindak pidana korupsi biasanya dilakukan lebih dari satu orang atau bisa disebut sebagai kejahatan komunal.

Kemudian, korupsi bukan saja merugikan negara, melain orang banyak. “Pertanyaannya, kalau kejahatannya bersifat mencederai kepentingan publik seperti tindak pidana korupsi, misal suap, dimana seharusnya pemimpin bekerja untuk publik tapi tidak (dilakukan) bagaimana? Keadilan di hadapan publik itu bagaimana me-restore-nya? Ini yang harus kita kaji bersama,” jelas dia.

Kepala Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan, Narendra Jatna, menilai konsep itu tak bisa diterapkan pada kasus korupsi. Sebab, korupsi kerap berbarengan dengan tindak pidana lainnya, seperti pencucian uang dan pajak.

“Dan tidak mungkin kalau alasannya (uangnya) dikembalikan selesai (kasusnya) karena sangat dimungkinkan tindak pidana korupsi itu ada pembarengan dengan tindak pidana lain,” kata Narendra. (Int)

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *