Oleh : Edi Susanto, Penggiat Anti Korupsi, Ketua Umum Cindai Kepri, Direktur Data dan Investigasi LBH Permata Reformasi
Aroma dugaan Gratifikasi perizinan menjadi salah satu mata rantai pintu masuk proses korupsi. Modus korupsi dalam sektor pelayanan publik ini sering terjadi pada umumnya dilakukan seorang penyelenggara negara, terutama seseorang yang memiliki jabatan dan wewenang untuk membuat keputusan atau mempengaruhi sebuah kebijakan.
Dalam penjelasan Undang-Undang (UU) 20 tahun 2001 pada Pasal 12B, gratifikasi atau pemberian dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Setiap gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau pejabat penyelenggara negara, bisa dianggap pemberian gratifikasi atau suap apabila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Sedangkan sanksi pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan gratifikasi adalah pidana penjara seumur hidup dan atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200.000.000 dan paling banyak 1.000.000.000.
Jika dikaitkan pelanggaran UU 20 tahun 2001 pasal 12B ini didalam kasus dugaan gratifikasi atau suap kegiatan PT. Mangrove Industry Park Indonesia (PT.MIPI), sesuai materi laporan LSM Cindai 08 Oktober 2020 nomor 009/L/CINDAI-KEPRI/X/2020 di Polres Kabupaten Bintan, menurut penulis sangat memenuhi unsur.
Adapun objek pelaporannya mulai dari proses penerbitan perizinan, lancarnya proses kegiatan impor dari Negara Cina hingga di expor kembali ke Negara Amerika. Secara gamblang dan tegas serta lengkap dengan bukti penerbitan perizinan, transfer uang, kwitansi serta tiket pesawat.
Mulai dari penerbitan Perizinan di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bintan, penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA/COO) di Dinas Perdagangan (Perindag) Bintan serta kelancaran kegiatan dilokasi PT. MIPI Galang Batang yang tanpa izin namun tetap beroprasi.
Kelancaran tersebut diduga di Backup oleh Anggota DPRD Bintan. Dugaan-dugaan ini senada dengan penjelasan UU 20 tahun 2021 pasal 12B.
Menurut pendapat penulis, dalam proses penerbitan perizinan PT.MIPI oleh DPM PTSP Bintan serta penerbitan SKA/COO untuk kebutuhan Expor produk PT. MIPI ke Amerika Serikat serta lancarnya proses aktifitas PT. MIPI di Galang Batang meski tanpa izin, telah terjadi dugaan gratifikasi, juga bisa dianggap suap.
Adanya pemberian berupa uang tunai dan transfer serta tiket pesawan cuma-cuma ini, memiliki potensi mempengaruhi pengambilan keputusan, pemberian apakah bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pemberian dilakukan secara diam-diam
serta pemberian tersebut berhubungan langsung dengan jabatan dan kewajiban sebagai PNS atau anggota DPRD yang memiliki konflik kepentingan.
Pertama, aparat Penegak Hukum (APH) tinggal mendalami proses penerbitan Tanda Daftar Gudang (TDG) dan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) oleh DPM PTSP Bintan, apakah sudah sesuai aturan.
Pemeriksaan mulai dari Kepala Dinas hingga Kepala Bidang yang bersangkutan, terkait tekhnis penerbitan izin tersebut. Jika sudah sesuai prosedural, tidak mungkin pihak PT. MIPI mengeluarkan dana puluhan hingga ratusan juta rupiah yang tidak lazim baik berupa transfer melalui supir kepala dinas hingga tunai dan tercatat dilaporan keuangan PT.MIPI.
Kedua, aparat penegak hukum Amerika U.S. Customs and Border Protection (CBP) sejak September 2021 hingga saat ini melakukan proses penyelidikan atas dugaan PT. MIPI, PT. Aiwood dan PT. Sunwell memasukkan barang dagang illegal transhipment dari China memasuki wilayah pabean Amerika Serikat lewat pintu expor Negara Indonesia melalui penghindaran.
Artinya produk yang diproduksi PT.MIPI dan rekanannya di kawasan Galang Batang diduga tidak asli milik Indonesia. Melainkan milik negara Cina. Jadi, jika dikaitkan dengan penerbitan COO/SKA oleh Perindag Bintan, besar kemungkinan tidak sesuai dan hampir terbukti karena barang tersebut merupakan barang cina yang di regukan osionalitasnya.
Ditambah lagi ada bukti transaksi pembelian tiket untuk kepala dinas Perindag oleh PT.MIPI sebanyak puluhan kali dan adanya transaksi transfer uang ke anak kandung kepala dinas serta adanya bukti catatan keuangan PT.MIPI dengan inisial Mr.Dino (diduga nama samaran Kadis Perindag Bintan).
Ketiga, Indikasi pembiaran oleh Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai (KPP BC) Tanjungpinang hingga Badan Pengelolaan Kawasan Free Trade Zone (FTZ) Kabupaten Bintan maupun beberapa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bintan dalam fungsi pengawasannya.
Perbuatan ini juga bisa dikategorikan unsur. Pada kenyataannya sangat jelas PT. MIPI beropasi di luar kawasan FTZ Bintan dengan memanfaatkan izin dikawasan FTZ Bintan agar terhindar Bea Impor barang.
Disini kerugian negara dari sektor bea masuk barang bisa mencapai Ratusan Milyar Rupiah. Adanya bukti transfer uang ke rekening anggota DPRD Bintan, bukti tiket perjalanan pesawat bersama pihak PT.MIPI serta foto-foto kedekatan beberapa anggota DPRD Bintan dengan pihak PT.MIPI disetiap kegaiatan di Galang Batang.
Anggota DPRD tidak melakukan fungsi pengawasannya malah terkesan membekap aktifitas PT.MIPI supaya lancar meski beroprasi dikawasan Non FTZ dan tidak memiliki izin.
Jika diambil contoh pengungkapan gratifikasi atau suap dalam sektor perizinan, seperti yang di ungkapkan oleh Alexander Marwata, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (28/07/2022) pada saat konfrensi pers, atas penetapan dan penahanan tersangka dugaan suap dan gratifikasi Mardani Maming, Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan.
Dengan adanya kewenangan penerbitan izin serta adanya pemberian uang atau tiket perjalanan yang tidak wajar, itu merupakan bukti permulaan yang cukup kuat. Apa lagi bisa ditelusuri jejak tansaksi aliran dananya baik berupa transfer maupun tunai.
Nah, disini penulis menilai bahwasanya untuk dugaan Gratifikasi atau Suap yang dilakukan oleh pihak PT.MIPI kepada oknum pejabat serta oknum DPRD Bintan sudah terpenuhi unsur sesuai dengan amanat UU 20 tahun 2001 pasal 12B.
Karna adanya kepentingan penerbitan izin serta tidak dijalankannya fungsi pengawasan, sehingga adanya aliran dana serta tiket perjalanan ke pejabat negara bersangkutan. Tinggal bagaimana APH mau atau tidak untuk melakukan proses penindakan.
Melalui pintu penelusuran gratifikasi atau suap ini, penulis berkeyakinan APH bisa mengupas tuntas dugaan kejahatan lain yang dilakukan oleh PT. MIPI dan rekanannya. Yaitu berupa dugaan TKA Illegal, dugaan penghindaran bea Impor barang diluar Kawasan FTZ serta maladministrasi.
Jangan sampai permasalahan PT. MIPI dan rekanannya di Kabupaten Bintan menjadi Preseden Buruk Penegakan Hukum APH di Negeri Indonesia yang kita cintai.
Penindakan hukum dengan segera, bisa memperbaiki kinerja para Pejabat Negara agar tidak terulang kembali. Sehingga alam investasi di pulau Bintan bisa berjalan dengan lancar dan kondusif.