
REGIONAL NEWS.ID, TANJUNGPINANG – Terdakwa dugaan korupsi Insentif Tenaga Kesehatan, Kepala Puskesmas Sei Lekop, Dr Zailendra Permana di tuntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan 3 tahun penjara. Terdakwa di yakini bersalah melakukan perbuatan korupsi sebesar Rp513 juta.
Fajrian Yustiardi SH, bertindak sebagai JPU dalam perkara ini menuturkan terdakwa Zailendra terbukti secara sah dan bersalah melanggar Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi menyalahgunakan kewenangan atau jabatan, sebagaimana dalam dakwaan subsidair penuntut umum.
“Menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun, serta denda Rp100 juta, apabila tidak dibayar maka akan digantikan (subsider) 6 bulan penjara,” ujar Fajrian di PN Tanjungpinang, Senin (27/6/2022).
Tidak hanya itu, terdakwa dibebankan untuk membayar Uang Pengganti (UP) sebesar Rp357,8 juta dari total kerugian negara senilai Rp 513 juta. Jika UP tidak dibayarkan, maka upaya sita akan dilakukan terhadap barang berharga milik terdakwa, denda ini bisa digantikan dengan pidana penjara selama 1,6 (satu tahun enam bulan) kurungan. “Dan merampas barang-bukti untuk dijadikan UP senilai Rp 155 juta,” tambah JPU.
Sementara itu, Ketua Majelis Hakim, Risbarita Simorangkir memberikan waktu satu minggu kepada penasehat hukum terdakwa untuk mengajukan nota pembelaan.
“Sidang akan kembali digelar pada 4 Juli 2022 mendatang, dengan agenda mendengarkan nota pembelaan terdakwa,” pungkasnya.
Sebelumnya, JPU Fajrian mengutarakan modus yang digunakan oleh terdakwa, yakni dengan melakukan mark up hari kerja untuk mendapatkan insentif Nakes dari Pemrintah Kabupaten Bintan.
Selain itu, nama-nama Nakes yang sudah diusulkan oleh Kepala Puskesmas Sei Lekop tersebut, tidak mendapatkan pencairan yang penuh, dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Bintan.
“Pertama mark up hari kerja, kemudian nama-nama yang diusulkan tidak mendapatkan seluruhnya dana yang sudah dicairkan oleh Dinkes,” ungkapnya.
Menurut perhitungan tim audit, kata Fajrian Insentif Nakes untuk Puskesmas Sei Lekop yang sudah dicairkan mencapai Rp 836 juta lebih. Sementara, yang bisa dipertanggung jawabkan hanya Rp 322 juta lebih saja.
“Kemudian sisanya Rp 513 juta, di mark up atau tidak dipertanggungjawabkan. Sehingga mengakibatkan kerugian negara,” tegasnya.
Penulis :Syaiful Editor : Redaksi