OPINI

Penyitaan Stokpile Bauksit di Kepri: Antara Penegakan Hukum, Luka Sosial, dan Kerugian Ekonomi

85
×

Penyitaan Stokpile Bauksit di Kepri: Antara Penegakan Hukum, Luka Sosial, dan Kerugian Ekonomi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Rahmat Nasution, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Tanjungpinang

REGIONAL NEWS.ID, TANJUNGPINANG – Di balik hamparan tanah merah di kawasan Tanjungpinang, aktivitas perbaikan lingkungan pasca-tambang mendadak berhenti ketika tim terpadu Gakkum Kementerian ESDM datang. Truk berhenti, ekskavator diam, dan debu bauksit pun kembali mengendap di udara panas Kepulauan Riau.

Sejak pemerintah menyita sekitar 4,25 juta metrik ton bauksit di wilayah Kepri, roda ekonomi lokal tersendat. Kini, rencana penyitaan tambahan sekitar 350 ribu metrik ton stokpile milik salah satu perusahaan asal Tanjungpinang kian menambah ketegangan.

Langkah hukum itu kata mereka merupakan tindak lanjut atas dugaan pelanggaran perizinan dan tata niaga hasil tambang. 

Melalui putusan Pengadilan Negeri Tanjungpinang, stok bauksit tersebut kini berstatus barang milik negara (BMN) dan berada di bawah koordinasi pemerintah pusat. Sebagian di antaranya bahkan sudah disiapkan untuk dilelang, dengan nilai estimasi mencapai Rp1,4 triliun.

Langkah tersebut disambut dua wajah: satu menandai kepastian hukum, yang lain memunculkan kecemasan sosial dan ekonomi di akar rumput.

Menegakkan aturan di atas tanah merah

Bauksit adalah komoditas strategis bagi Indonesia. Selain menjadi bahan baku utama alumina, nilainya melonjak di pasar dunia sejak beberapa tahun terakhir. Pemerintah pun memperketat tata kelola mineral ini melalui larangan ekspor mentah serta kewajiban pembangunan smelter dalam negeri sejak 2023.

Namun di lapangan, praktik penambangan sering kali tak sepenuhnya berjalan di rel formal. Sejumlah stok bauksit ditemukan menumpuk di area penimbunan tanpa kejelasan asal-usul dan izin produksi. Di sinilah aparat penegak hukum turun tangan—menertibkan, menghitung, dan akhirnya menyita.

Secara hukum, penyitaan berarti negara mengambil alih penguasaan fisik dan administratif atas barang bukti untuk kepentingan penyelidikan atau pengembalian kerugian negara. 

Dalam konteks Kepri, penyitaan ini juga menjadi upaya “membersihkan” rantai pasok dari praktik tambang ilegal atau semi-legal yang kerap dikeluhkan publik dan aktivis lingkungan.

“Negara tidak boleh kalah dari ketidakpatuhan,” ujar seorang pejabat di Kemenko Perekonomian dalam konferensi pers. “Namun penegakan hukum tetap harus menjamin keadilan bagi masyarakat dan dunia usaha.”

Ketika penertiban bisa salah sasaran

Di atas kertas, langkah penyitaan adalah bentuk penegakan hukum. Namun di lapangan, batas antara penegakan dan penyiksaan sosial bisa sangat tipis.

Kita pernah menyaksikan kasus serupa di sektor lain—misalnya ketika Satgas sawit menertibkan kebun ilegal yang berdiri di kawasan hutan. Setelah dilakukan pendataan ulang, ternyata ratusan ribu hektar di antaranya justru milik masyarakat yang telah puluhan tahun menggarap tanah itu secara turun-temurun. Ketika kebun mereka ikut disita dalam satu keputusan “asal sita”, rakyat kecil yang paling menderita.

Pertanyaan yang sama kini bergema di Kepri: apakah langkah penyitaan jutaan ton bauksit ini sudah benar-benar memisahkan antara pelaku ilegal dan yang berizin sah? Jika tidak dilakukan dengan verifikasi yang cermat, penyitaan yang bertujuan menegakkan hukum justru berpotensi menimbulkan luka sosial baru—menyandera kehidupan ribuan orang yang menggantungkan nafkah di sektor tambang.

Gelombang sosial di garis depan tambang

Penertiban tambang memang membawa konsekuensi sosial yang tak ringan. Banyak warga di Bintan dan Tanjungpinang hidup dari aktivitas tambang: buruh, sopir truk, operator alat berat, pemilik warung, hingga penyedia jasa angkutan laut. Saat kegiatan tambang berhenti mendadak, penghasilan mereka pun terhenti.

“Sudah tiga minggu saya tidak narik truk,” kata seorang sopir lokal yang biasa terlibat dalam kegiatan perbaikan lingkungan pasca-tambang. “Kalau lama-lama begini, kami tidak tahu mau kerja apa.”

Selain kehilangan pekerjaan, potensi konflik sosial juga meningkat. Sebagian pengusaha lokal merasa tidak dilibatkan dalam proses penyitaan, sementara kelompok lingkungan menilai langkah pemerintah sudah tepat. Dua kutub ini menciptakan ketegangan di masyarakat—antara kebutuhan ekonomi dan dorongan menjaga kelestarian lingkungan.

Biaya yang tak tampak bagi perusahaan

Bagi perusahaan, penyitaan stokpile bukan sekadar perkara hukum. Ada kerugian operasional yang besar dan sering kali tak tampak di permukaan. 

Ribuan ton bauksit yang sudah ditambang tidak bisa dijual, sementara biaya produksi telah dikeluarkan. Alat berat, kapal tongkang, dan pelabuhan menjadi idle asset yang tetap memerlukan perawatan mahal.

Belum lagi kontrak penjualan yang batal, biaya hukum yang membengkak, dan reputasi bisnis yang tercoreng. “Investor butuh kepastian,” ujar seorang ekonom dari Universitas Maritim Raja Ali Haji. 

“Jika penyitaan tidak disertai kejelasan hukum dan kompensasi yang proporsional, Kepri bisa kehilangan momentum untuk menarik investasi di sektor mineral.”

Kalkulasi untung-rugi bagi daerah

Secara fiskal, pemerintah berpotensi memperoleh pemasukan besar dari hasil lelang bauksit. Namun, keuntungan itu hanya bermakna jika diimbangi dengan strategi pemulihan sosial-ekonomi. 

Tanpa program transisi tenaga kerja dan perlindungan pelaku usaha kecil, penegakan hukum justru bisa memunculkan efek domino: pengangguran meningkat, tambang ilegal baru bermunculan, konsumsi rumah tangga menurun.

Pengalaman dari beberapa daerah tambang menunjukkan hal serupa: penertiban tanpa rencana ekonomi alternatif hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya. 

Pemerintah daerah Kepri perlu belajar dari pengalaman itu—bahwa penegakan hukum tak boleh berhenti di penyitaan, tetapi harus diikuti kebijakan pemulihan yang nyata.

Mencari keseimbangan

Penyitaan stokpile bauksit di Kepri adalah cermin dilema besar yang dihadapi negara penghasil sumber daya alam: bagaimana menegakkan hukum tanpa memutus nadi ekonomi rakyat. Langkah tegas memang perlu, tetapi harus diiringi kepekaan sosial dan transparansi.

Pemerintah perlu membuka data resmi tentang volume, nilai, dan status hukum setiap stokpile agar tak menimbulkan spekulasi. Proses pelelangan pun sebaiknya dilakukan terbuka, dengan prioritas kepada pelaku usaha yang taat aturan. 

Di sisi lain, masyarakat dan pekerja tambang perlu mendapat perlindungan serta pelatihan alternatif agar tidak menjadi korban dari kebijakan yang seharusnya melindungi mereka.

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *