NASIONAL

Prof Henri Subiakto: UU ITE Harus Dikawal agar Tak Jadi Alat Pembungkam Kebebasan Pers

12
×

Prof Henri Subiakto: UU ITE Harus Dikawal agar Tak Jadi Alat Pembungkam Kebebasan Pers

Sebarkan artikel ini
Ketua umum SMSI Firdaus dan Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Prof Henri Subiakto

REGIONAL.NEWS.ID, JAKARTA — Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Prof Henri Subiakto, mengingatkan pentingnya pengawasan terhadap penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) agar tidak digunakan sebagai alat untuk membungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di ruang digital.

Hal itu disampaikan Prof Henri dalam Dialog Nasional bertajuk “Media Baru vs UU ITE” yang diselenggarakan SMSI Pusat secara daring, Selasa (28/10/2025). Diskusi tersebut menjadi bagian dari rangkaian kegiatan menjelang Hari Pers Nasional (HPN) 2026.

Menurut Henri, UU ITE lahir sebagai konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi yang memunculkan bentuk-bentuk komunikasi dan transaksi hukum baru di masyarakat.

“Transaksi dan aktivitas berbasis internet menimbulkan perbuatan hukum baru yang perlu diatur. Karena itu, UU ITE menjadi penting,” ujar Henri.

Ia menjelaskan, jumlah pengguna internet di Indonesia kini mencapai sekitar 191 juta orang, sedangkan pengguna media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan X (Twitter) telah menembus 224 juta akun aktif. Kondisi itu, menurut dia, menjadikan UU ITE sebagai salah satu regulasi yang paling sering digunakan dalam berbagai perkara hukum.

Meski demikian, Henri menilai penerapan UU ITE kerap menimbulkan persoalan, terutama ketika digunakan untuk menjerat karya jurnalistik yang semestinya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Wartawan dan media bekerja dalam koridor Undang-Undang Pers. Mereka tidak bisa diperlakukan sama dengan pengguna media sosial biasa. Sayangnya, masih sering terjadi salah tafsir dalam penerapan UU ITE terhadap produk jurnalistik,” katanya.

Henri juga menyoroti pesatnya perkembangan media baru seperti podcast dan platform daring lainnya yang muncul karena kemudahan akses serta rendahnya biaya produksi. Fenomena tersebut, menurut dia, menandai pergeseran pola konsumsi informasi masyarakat.

“Podcast itu menarik karena mudah diakses dan dibuat. Biayanya murah, sehingga lebih independen dari tekanan iklan atau sponsor,” ujarnya.

Namun demikian, ia mengingatkan bahwa media baru tetap harus berpegang pada prinsip-prinsip jurnalisme, seperti verifikasi fakta, keseimbangan berita, dan kode etik profesi.

“Podcast dan media daring memang berbeda format, tetapi secara fungsi keduanya sama-sama menyampaikan informasi kepada publik. Hanya saja, banyak yang belum diakui secara resmi oleh Dewan Pers,” ucapnya.

Henri juga menyinggung masih adanya praktik kriminalisasi terhadap jurnalis dengan menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE. Hal itu, katanya, sering terjadi ketika karya jurnalistik menyinggung isu sensitif seperti korupsi atau kritik terhadap pejabat publik.

“Sekarang banyak orang yang kerjanya melapor. Sedikit berbeda pendapat, langsung dilaporkan dengan UU ITE. Ini yang menakutkan,” tegasnya.

Menutup paparannya, Henri mendorong SMSI untuk berperan aktif dalam mengawal revisi UU ITE agar implementasinya tidak mengancam kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.

“SMSI perlu mengambil peran untuk memastikan UU ITE tidak menjadi alat pembungkam, tetapi justru memperkuat semangat kebangsaan dan tanggung jawab moral dalam kehidupan bermedia,” ujarnya.

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *