TANJUNGPINANG

24 Tahun Kota Otonom Tanjungpinang: Antara Warisan Melayu, Tantangan Ekonomi, Ruang Sosial yang Perlu Dibenahi

81
×

24 Tahun Kota Otonom Tanjungpinang: Antara Warisan Melayu, Tantangan Ekonomi, Ruang Sosial yang Perlu Dibenahi

Sebarkan artikel ini

SMSI: “Kota Ini Tak Akan Kuat Tanpa Kolaborasi dan Keterbukaan Informasi”

Rahmat Nasution, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kota Tanjungpinang.

REGIONAL NEWS.ID, TANJUNGPINANG – Tepat 17 Oktober 2025, Kota Tanjungpinang genap berusia 24 tahun sebagai kota otonom. Sebagai ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang menyimpan sejarah panjang perjalanan pemerintahan, ekonomi, dan kebudayaan Melayu di wilayah barat Indonesia.

Namun, di usia dua dekade lebih ini, banyak kalangan menilai masih banyak hal yang perlu dibenahi agar Tanjungpinang mampu menjadi kota maju yang berakar pada identitasnya sebagai pusat peradaban Melayu.

Dari Kota Administratif ke Kota Otonom

Tanjungpinang resmi menjadi kota otonom pada 17 Oktober 2001 melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2001. Sebelumnya, wilayah ini merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Riau dengan status kota administratif. Perubahan status itu memberi ruang bagi Tanjungpinang untuk mengatur urusannya sendiri, mulai dari pembangunan ekonomi, sosial, hingga kebudayaan.

Sejak saat itu, wajah Tanjungpinang perlahan berubah. Pusat-pusat ekonomi mulai tumbuh, pelabuhan dan pasar tradisional bergeliat, dan jalur perdagangan antarpulau semakin aktif. Namun, di balik geliat tersebut, masih tersisa kesenjangan antara ambisi pembangunan dan realitas sosial yang dihadapi masyarakat.

Perspektif Ekonomi: Antara Potensi dan Ketergantungan

Dari sisi ekonomi, Tanjungpinang memiliki potensi besar sebagai gerbang perdagangan dan jasa di wilayah Kepulauan Riau. Posisi strategis di jalur pelayaran internasional membuatnya menjadi simpul penting dalam konektivitas antara Batam, Bintan, dan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Namun, perkembangan ekonomi kota ini masih sangat bergantung pada sektor pemerintahan dan konsumsi domestik. Industri kecil dan menengah (IKM) serta sektor pariwisata yang berbasis budaya Melayu masih belum dikelola secara maksimal.

“Kita punya potensi besar di bidang pariwisata sejarah dan budaya Melayu, tetapi belum dikelola secara terintegrasi dengan sektor ekonomi kreatif,” ujar Ketua SMSI Tanjungpinang, Rahmat Nasution, Jumat (17/10/2025).

Rahmat menilai, pemerintah kota perlu membangun ekosistem ekonomi berbasis kemandirian lokal. “Tanjungpinang tidak boleh hanya menjadi kota birokrasi. Ia harus menjadi pusat pergerakan ekonomi rakyat, tempat tumbuhnya pelaku UMKM, media kreatif, dan wirausaha muda,” tambahnya.

Perspektif Sosial: Identitas dan Partisipasi

Dalam dua dekade terakhir, Tanjungpinang tumbuh sebagai kota yang heterogen. Masyarakat Melayu, Tionghoa, Bugis, dan etnis lainnya hidup berdampingan. Namun, di tengah modernisasi, muncul tantangan baru, perubahan nilai sosial dan menurunnya partisipasi publik dalam pembangunan kota.

Menurut sejumlah pengamat, masih banyak warga yang merasa belum dilibatkan dalam pengambilan keputusan publik. Selain itu, kesenjangan antara pusat kota dan wilayah pesisir menjadi catatan tersendiri.

“Pemerintah perlu membuka ruang dialog dan mendekatkan kebijakan ke masyarakat akar rumput. Kolaborasi sosial sangat penting agar warga merasa memiliki kota ini,” ujar Rahmat.

Perspektif Kebudayaan Melayu: Jiwa Kota yang Tak Boleh Hilang

Sebagai pusat kebudayaan Melayu, Tanjungpinang memiliki warisan sejarah yang kuat, terutama di Pulau Penyengat yang dikenal sebagai pusat lahirnya peradaban dan sastra Melayu modern. Namun, nilai-nilai budaya itu mulai tergerus oleh gaya hidup modern dan kurangnya perhatian generasi muda terhadap akar budayanya.

“Tanjungpinang adalah jantung Melayu, bukan sekadar kota administratif. Setiap pembangunan harus berlandaskan nilai-nilai Melayu, sopan, terbuka, dan beradab. “Kita bisa modern tanpa kehilangan jati diri,” kata Rahmat.

SMSI: “Kota Ini Tak Akan Kuat Tanpa Kolaborasi dan Keterbukaan Informasi”

Di sisi lain, momentum hari jadi ke-24 ini memunculkan kekecewaan. Selama ini Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Tanjungpinang menjadi mitra strategis dalam penyebaran informasi publik, dikesampingkan dalam perayaan tersebut.

Rahmat menilai hal itu sebagai bentuk kurangnya komunikasi dan penghargaan terhadap peran media dalam pembangunan daerah.

“Kami bukan menuntut seremoni, tapi makna kolaborasi. Media adalah pilar keempat demokrasi yang membantu pemerintah membangun kesadaran publik. Kalau media dikesampingkan, yang rugi bukan SMSI, tapi kota ini sendiri,” tegasnya.

Kendati demikian, SMSI berkomitmen tetap menjadi mitra kritis dan konstruktif bagi pemerintah kota. Rahmat menegaskan, pihaknya akan terus mendorong sinergi yang sehat antara pemerintah, masyarakat, dan media untuk mewujudkan Tanjungpinang yang transparan, inklusif, dan berdaya saing.

Menuju Kota Madani yang Berkarakter

Dua puluh empat tahun bukan usia yang muda bagi sebuah kota otonom. Namun, perjalanan Tanjungpinang masih panjang. Ke depan, tantangan terbesarnya bukan sekadar membangun infrastruktur fisik, melainkan membangun karakter kota yang berjiwa Melayu dan berdaya ekonomi lokal.

“Kota ini akan maju jika pemerintah terbuka, masyarakat aktif, dan media diberi ruang untuk menjalankan fungsinya. Itu baru namanya Tanjungpinang madani,” tutup Ketua SMSI Tanjungpinang.

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *