
REGIONAL NEWS.ID, TANJUNGPINANG – Kota Tanjungpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, genap 24 tahun sebagai kota otonom pada 17 Oktober 2025. Peringatan ini tidak sekadar menandai usia administratif, tetapi juga perjalanan panjang perjuangan masyarakat dan pemerintah dalam menegakkan otonomi daerah yang berakar pada sejarah dan budaya Melayu.
Transformasi Tanjungpinang menjadi kota otonom bermula dari kebijakan pemerintah pusat pada 1 Januari 2001 yang menghapus status kota administratif.
Saat itu, wilayah yang memenuhi kriteria untuk peningkatan status diajukan menjadi daerah otonom, sementara sisanya dilikuidasi menjadi kecamatan.
Berbeda dari banyak daerah lainnya, Tanjungpinang menunjukkan perkembangan pesat dari sisi infrastruktur, kepadatan penduduk, serta dinamika sosial dan ekonomi.
Aspirasi masyarakat yang kuat untuk memiliki pemerintahan sendiri akhirnya mendorong pembentukan kota otonom.
Pada 21 Juli 2001, disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tanjungpinang. Kemudian, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 11.24.3-25 tertanggal 24 Agustus 2001 menetapkan pejabat Wali Kota pertama.
Selanjutnya, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno secara resmi meresmikan Tanjungpinang sebagai daerah otonom pada 17 Oktober 2001, bersama 12 kabupaten/kota lain di Indonesia.
Fondasi Awal Pemerintahan
Dengan status baru tersebut, Tanjungpinang tidak lagi berstatus kota administratif, melainkan memiliki kewenangan penuh setara dengan kabupaten dan kota lain. Struktur wilayahnya pun berkembang dari dua kecamatan menjadi empat kecamatan dengan 18 kelurahan, yakni:
Kecamatan Tanjungpinang Kota: Tanjungpinang Kota, Kampung Bugis, Senggarang, Penyengat
Kecamatan Tanjungpinang Barat: Kampung Baru, Bukit Cermin, Tanjungpinang Barat, Kemboja
Kecamatan Tanjungpinang Timur: Batu 9, Air Raja, Pinang Kencana, Melayu Kota Piring, Kampung Bulan
Kecamatan Bukit Bestari: Tanjung Ayun Sakti, Sei Jang, Tanjung Unggat, Tanjungpinang Timur
Sejumlah tokoh turut berperan penting dalam memperjuangkan otonomi kota ini, di antaranya Suryatati A. Manan—yang kemudian menjabat Wali Kota dua periode—serta Efiyar Yamin, Arif Rasahan, Hasan Daut, dan H. Akmal Atatrick. Mereka menjadi bagian dari generasi perintis yang merumuskan fondasi awal pemerintahan Kota Tanjungpinang.
Warisan Sejarah dan Identitas Melayu
Semangat otonomi Tanjungpinang tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang perjuangan rakyat Riau. Kota ini menjadi saksi perlawanan Kerajaan Riau terhadap kolonial Belanda yang berpuncak pada Perang Riau tahun 1782–1784.
Tokoh sentral perjuangan itu adalah Sultan Mahmud Riayat Syah dan Raja Haji Fisabilillah, yang berhasil menenggelamkan kapal perang Belanda Malaka’s Walvaren pada 6 Januari 1784.
Peristiwa heroik tersebut kemudian dijadikan dasar penetapan 6 Januari 1784 sebagai Hari Jadi Kota Tanjungpinang, melalui hasil kajian Tim Peneliti dan Pencari Fakta yang dibentuk oleh Wali Kota Administratif Drs. H.M. Sani pada tahun 1986, dan diresmikan lewat SK DPRD No. 17/1987.
Kini, Tanjungpinang bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga pusat peradaban dan kebudayaan Melayu. Kota ini menjadi gerbang sejarah dan identitas maritim di Kepulauan Riau, dengan Pulau Penyengat sebagai simbol kejayaan literasi dan pemerintahan Melayu di masa lampau.
Menatap Masa Depan
Memasuki usia ke-24 sebagai kota otonom, Tanjungpinang terus berbenah menuju kota modern tanpa meninggalkan akar sejarah dan budayanya. Pemerintah daerah berupaya menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian warisan budaya Melayu.
Semangat perjuangan masa lalu menjadi inspirasi untuk melangkah ke masa depan—membangun kota yang maju, berdaya saing, dan tetap teguh dalam jati diri sebagai pusat peradaban Melayu di Indonesia bagian barat.