
Oleh: Zainal, S.Sos (Praktisi Budaya)
Anak-anak itu hanya ingin makan siang. Mereka tidak sedang ikut eksperimen, apalagi menjadi korban politik anggaran. Namun, pagi yang seharusnya biasa berubah menjadi bencana. Nasi, ayam, dan sayur bening yang disiapkan melalui Program Makan Bergizi Gratis (MBG) justru membuat sejumlah siswa mengalami keracunan massal.
Apa yang awalnya digadang sebagai program unggulan pemerintah untuk mencetak “generasi emas”, mendadak menjelma ironi. Dari kebanggaan, menjadi headline duka.
Fenomena ini tidak terjadi di satu titik saja. Dari Jawa hingga Sumatera, laporan serupa bermunculan. Ambulans berderu di halaman sekolah, rumah sakit penuh dengan anak-anak berseragam putih-merah, sementara orang tua diliputi kecemasan. Kepercayaan publik pun terkoyak.
Pertanyaannya, apa yang sebenarnya terjadi?
Sistem yang Rapuh
Ada yang menduga peristiwa ini bagian dari sabotase entah oleh pesaing bisnis, musuh politik, atau mafia proyek yang ingin merusak reputasi. Namun, dugaan itu belum terbukti. Justru, sejumlah pengamat menilai bahwa akar persoalan utama terletak pada lemahnya tata kelola.
MBG mengalirkan dana triliunan rupiah dengan rantai pasok yang panjang. Dalam sistem sebesar itu, godaan penyimpangan sangat tinggi. Vendor menekan harga, pejabat malas memeriksa, sementara prosedur pengawasan berjalan seadanya. Akibatnya, bahan murahan bisa masuk, distribusi terabaikan, dan kualitas terancam.
Program ini diperlakukan hanya sebagai “bagi-bagi makan siang”, padahal taruhannya adalah nyawa anak-anak.
Krisis Kepercayaan
Di lapangan, dampaknya terasa nyata. Ada orang tua yang melarang anaknya menyentuh makanan dari program MBG. Ada kepala sekolah yang bingung, mengikuti suplai resmi atau mencari alternatif sendiri. Sementara pemerintah pusat dan daerah saling melempar tanggung jawab.
Jika situasi ini dibiarkan, MBG bisa kehilangan legitimasi publik bahkan sebelum mencapai tujuan utamanya memperbaiki gizi anak bangsa.
Jalan Perbaikan
Pemerintah perlu melakukan langkah serius, bukan sekadar konferensi pers. Audit mendadak harus dilakukan pada rantai pasok. Uji cepat kualitas makanan perlu diterapkan sebelum dibagikan. Transparansi digital yang memungkinkan publik mengetahui asal bahan, pemasok, hingga hasil uji menjadi keniscayaan.
Tidak kalah penting, sanksi tegas harus dijatuhkan, baik kepada pemasok nakal maupun pejabat yang lalai. Tanpa itu, program sebesar MBG hanya akan menjadi ladang subur penyimpangan.
Menjaga Asa
Pada akhirnya, kita bisa saja menunjuk siapa pun sebagai “penyusup”. Namun, tanggung jawab tetap berada di tangan pengelola. Sabotase dari luar maupun salah kelola dari dalam, akibatnya sama anak-anak yang menjadi korban.
Program MBG sejatinya adalah ikhtiar mulia untuk menyiapkan generasi sehat dan cerdas. Jangan sampai ia berakhir sebagai catatan ironi nasional, sebuah harapan yang berubah menjadi bencana.