
REGIONAL NEWS.ID, TANJUNGPINANG — Sejumlah warga Tanjungpinang berkumpul di Cafe Harmoni A8, Jalan D.I Panjaitan. Mereka bergantian berbicara di mimbar terbuka, menyuarakan penolakan terhadap rencana Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau menyerahkan pengelolaan kawasan itu kepada pihak swasta hingga 30 tahun ke depan.
“Ini ruang publik, jangan dijadikan komoditas pemerintah dan oligarki,” ujar Ketua Lsm Cindai, Edi Susanto, disambut tepuk tangan hadirin.
Gurindam 12, yang dibangun dengan dana ratusan miliar rupiah, sejak awal dimaksudkan menjadi ikon baru kota sekaligus ruang terbuka bagi warga.
Kawasan tepi laut itu dirancang dengan jalur pedestrian, taman, dan panggung budaya, mengabadikan nama karya sastra Raja Ali Haji, tokoh kebanggaan Melayu. Namun, gagasan pemerintah menggandeng investor swasta kini justru menimbulkan kontroversi.
Alasan pemerintah
Soal rencana lelang pengelolaan sebagian kawasan Taman Gurindam 12, halaman Diskominfo Kepri menulis keterangan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPP) Kepri, Rodi Yantari menyampaikan jika nantinya seluruh biaya pembangunan akan dibebankan kepada pihak ketiga.
“Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau hanya menyiapkan lahan untuk di kelola pihak ketiga/swasta yang telah memenuhui persyaratan. Seluruh biaya pembangunan dibebankan kepada pihak ketiga. Pembangunannya tetap diawasai oleh OPD teknis, dalam hal ini Dinas PUPP, sehingga bangunan tersebut tetap memiliki unsur–unsur kearifan lokal budaya Melayu,” papar Rodi di Tanjungpinang, Sabtu (13/9/2025).
Pembangunan kawasan yang nantinya akan dikelola oleh pihak ketiga itu meliputi tempat usaha kuliner makan dan minum serta area parkir.
Adapun total tanah yang rencananya akan dikelolala oleh pihak ketiga/swasta adalah lahan seluas 7.450 M2 dari total tanah milik Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau yaitu seluas 148.600 M2.
Tanah seluas 7.450 M2 yang akan dikelola oleh pihak ketiga/swasta terdiri dari empat bidang tanah untuk area makanan dan minuman dengan total luasan 4 x 500M2 = 2.000 M2 (blok dugong, blok dingkis, blok gong-gong, blok napoleon), dan satu bidang tanah untuk area parkir 5.540 M2 untuk parkir.
Suara masyarakat
Di sisi lain, warga dan sejumlah tokoh adat menilai kebijakan itu berisiko mengurangi akses publik.
Ketua Forum Masyarakat Teluk Keriting, Trio Jumalita, mengatakan, swastanisasi berpotensi mengubah fungsi ruang publik menjadi area komersial.
“Kami khawatir warga dikenai pungutan atau dibatasi ketika ingin menikmati ruang yang seharusnya milik bersama,” kata dia.
Kekhawatiran juga datang dari kalangan budayawan. Mereka menilai pengelolaan swasta berpotensi mengikis nilai simbolis Gurindam 12 sebagai ruang budaya.
“Jangan sampai makna sastra dan identitas Melayu tergantikan kepentingan bisnis,” ujar seorang budayawan Tanjungpinang.
Isu lebih luas
Polemik Gurindam 12 menyentuh persoalan yang lebih luas tentang transparansi dan tata kelola aset publik. Sejumlah aktivis mengingatkan pentingnya keterbukaan perjanjian kerja sama antara pemerintah dan swasta.
“Publik perlu tahu isi kontrak agar jelas hak dan kewajiban masing-masing. Ruang publik tidak boleh berubah menjadi ruang privat,” kata mereka.
Fenomena serupa terjadi di sejumlah kota lain. Ruang terbuka hijau, taman kota, bahkan trotoar kerap masuk dalam skema kerja sama dengan swasta. Alasan yang dikemukakan hampir sama, keterbatasan anggaran pemerintah.
Namun, praktik ini sering menimbulkan pertanyaan, apakah pembangunan benar-benar untuk masyarakat atau justru menguntungkan pihak tertentu?
Pertaruhan identitas
Bagi warga Tanjungpinang, Gurindam 12 lebih dari sekadar proyek infrastruktur. Kawasan ini telah menjadi tempat warga bersantai, berekspresi, hingga menggelar pertunjukan seni. Karena itu, penyerahan pengelolaan ke swasta dianggap sebagai pertaruhan identitas kota.
“Pembangunan mestinya untuk rakyat. Jangan sampai rakyat hanya jadi penonton di tanah sendiri,” kata seorang warga dalam forum diskusi terbuka.
Kini, masa depan Gurindam 12 masih menjadi perdebatan. Pemerintah berupaya meyakinkan publik bahwa swastanisasi adalah solusi, sementara warga mendesak jaminan ruang publik tetap terbuka dan transparan.