
REGIONAL NEWS.ID, TANJUNGPINANG – Kepala Dinas Pertanian, Pangan, Perikanan dan Kehutanan (DP3K) Kota Tanjungpinang, mengatakan, beras yang diduga oplosan dan beredar di wilayah Tanjungpinang sebagian besar berasal dari Kota Batam.
Kepala Dinas DP3K Tanjungpinang Robert Lukman, mengatakan, beras mengalami repacking, yakni penggantian kemasan dari beras medium menjadi beras premium.
“Dugaan beras oplosan itu sebenarnya hanya soal kemasan ulang. Beras medium dikemas ulang menjadi beras premium, dan kebanyakan berasal dari Batam,” ujar Robert, Rabu (17/7/2025).
Ia menyebutkan, bahwa saat ini terdapat belasan distributor beras yang beroperasi di Kota Tanjungpinang. Namun, ia enggan membeberkan nama-nama distributor yang dimaksud.
Ketika ditanya soal merek-merek beras yang diduga telah dioplos, Robert hanya menyarankan agar hal tersebut dikonfirmasi langsung kepada Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKPD) Provinsi Kepulauan Riau.
Robert juga menekankan agar masyarakat tidak perlu panik. Ia mengimbau warga untuk tetap menggunakan beras yang biasa dikonsumsi sehari-hari. “Ini bukan beras yang dicampur-campur. Hanya soal repacking-nya saja,” jelasnya.
Menurut Robert, pengawasan terhadap keamanan dan mutu beras sepenuhnya menjadi kewenangan OKKPD Provinsi Kepulauan Riau. DP3K Kota Tanjungpinang hanya berperan sebagai pendamping dalam kegiatan pengawasan yang dilakukan OKKPD.
“Beberapa waktu lalu, yang turun langsung melakukan pengawasan adalah tim dari OKKPD Kepri. Kami dari DP3 hanya mendampingi,” ungkapnya.
OKKPD sendiri merupakan lembaga yang bertugas mengawasi aspek keamanan pangan, mutu, gizi, label, dan iklan pada produk pangan segar yang beredar di masyarakat.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkap praktik pengoplosan beras secara masif di berbagai daerah di Indonesia. Dari hasil uji sampel di 11 provinsi, ditemukan bahwa sebagian besar beras premium dan medium yang dijual di pasaran tidak memenuhi standar mutu, Harga Eceran Tertinggi (HET), serta berat kemasan sesuai ketentuan.
Temuan ini diperkirakan menimbulkan kerugian konsumen hingga Rp99,35 triliun per tahun, sehingga mendorong Satgas Pangan dan aparat penegak hukum untuk bertindak tegas.