REGIONAL NEWS.ID, NATUNA – Penyebab kekisruhan di Kabupaten Natuna oleh karena masuknya pertambangan pasir Kuarsa dan Silika di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. “Ternyata berawal dari terbukanya ruang wilayah dan tertutupnya informasi yang diduga disembunyikan oleh para pemangku kebijakan”
Kisruh yang sempat menimbulkan kegaduhan ditengah masyarakat kepulauan tersebut terjadi saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPRD Natuna dengan Aliansi Natuna Menggugat, di Ruang Rapat Paripurna DPRD Natuna, Jum’at (27 Mei 2022).
“Tolong Pak Bupati, kita semua ingin aman, damai. Jangan ada yang disembunyikan, supaya tidak adalagi bahasa mendukung atau tidak mendukung, setuju atau tidak setuju, kalau begini terus tidak akan selesai persoalan. Saya minta kepada yang memiliki informasi, kebijakan dan kewenangan, sampaikanlah secara lugas dan tuntas,” ujar H. Novain Pribadi, SH.
Menurut Novain, kekhawatiran masyarakat Natuna yang kontra terhadap masuknya pertambangan pasir kuarsa dinilai berpotensi merusak alam, kemudian menaruh harapan kepada Aliansi Natuna Menggugat, wajar-wajar saja. Meskipun suara lantang yang disampaikan melalui bentangan spanduk satu hari menjelang RDP sempat mendapat cubitan.
“Sebagai tuan rumah yang baik, wajar saja bertanya dengan tamu datang dengan niat tidak baik. Jadi saya betul-betul minta maaf, jangan saling tuduh, saling karter. Saya ingin tahu, tamu datang mau ngapa, tolong jelaskan? Kalau niatnya tidak baik, apalagi datang nak maling. Saya minta segala bentuk kegiatan pertambangan di pulau ini dihentikan,” tegas Novain.
Sebelumnya, Bupati Natuna, Wan Siswandi yang hadir dalam RDP, ketika diminta mengungkapkan kebenaran Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dianggap sebagai pintu masuknya pengusaha tambang pasir kuarsa di Natuna sempat menjelaskan panjang lebar.
Kata Wan Siswandi, usulan Perda RTRW yang didalamnya memuat tentang kawasan pertambangan sudah ada jauh hari sebelum dirinya dilantik menjadi Bupati Natuna. Ia pun mengaku hanya meneruskan usulan yang sudah dibuat oleh pejabat bupati saat itu.
Hanya saja belum dapat disahkan pada saat itu. “Saat itu saya belum menjadi bupati dan Pak Hamid juga sudah selesai masa jabatannya, sehingga usulan tersebut ditandatangani Hendra Kusuma.
Karena belum disahkan, makanya saya ketika dilantik menjadi Bupati Natuna memohon lagi, menyurati lagi, apa yang menjadi persoalan yang sudah didahului,” terangnya.
Menurutnya, penambahan kawasan pertambangan pada Perda RTRW yang romantis dibicarakan saat ini berasal dari hasil kajian pemerintah provinsi, bukan pemerintah kabupaten.
“Kita tidak punya kewenangan tambang, sementara saat itu Pak Ansar melihat bahwa ada kemungkinan potensi peluang untuk penambangan pasir. Maka ditrunkanlah tim, hasil kajiannya juga ada. Oleh provinsi saat itu diminta membuat dukungan kepada pemerintah daerah, agar menyurati perubahan,” ungkap Wan Siswandi.
Lebih jauh, Wan Siswandi menjelaskan, karena telah diberikan ruang oleh Kementerian ATR, maka disampaikanlah berbagai usulan, diantaranya tentang bandara Subi, BTS, jaringan pengaman pantai, embung air Serasan, pulau-pulau kecil berpotensi pariwisata, termasuk potensi tambang.
“Pada surat usulan itu, kita bunyikan bahwa berdasarkan kajian yang dibuat provinsi, bukan kabupaten. Sehingga setelah itu, diminta harus ada persetujuan DPRD, dan usulan itu tidak merubah secara keseluruhan tata ruang,” jelasnya.
Setelah mendengar panjang lebar paparan yang disampaikan Bupati Natuna, Wan Siswandi. Penanggung Jawab Aliansi Natuna Menggugat, Wan Sofian kemudian meminta Ketua DPRD Natuna, Daeng Amhar menjelaskan mengapa surat tersebut ditandatangan tanpa membacanya terlebih dahulu. Sehingga terjadi penambahan luas kawasan tambang yang tidak pro rakyat.
“Pimpinan, kok anda menandatangani surat usulan dari bupati itu, anda tidak baca dulu, tolong jelaskan,” tanya Wan Sofian.
Menjawab pertanyaan itu, Ketua DPRD Natuna, Daeng Amhar menceritakan, bahwa setelah disahkan induknya, perda tidak otomatis langsung berlaku. Perda diserahkan lebih dulu ke gubernur dan gubernur proses lagi pembahasan perda tersebut. Setelah selesai, gubernur meneruskan perda tersebut ke pemerintah pusat, tepatnya Kementerian ATR. Kata Daeng Amhar.
Setelah selesai di Kementerian ATR, perda tersebut turun kembali ke gubernur, sehingga sampai ke kabupaten. Ia pun tidak lagi membaca dan langsung menandatangani surat tersebut, dikarenakan ketika di bahas di kementerian tidak ada perubahan secara signifikan.
“Maka saya sampaikan mengapa saya tanda tangan, karena RTRW itu wajib disahkan. Ketika gubernur menurunkan timnya menemukan ada potensi-potensi pertambangan, kami juga wajib memasukkannya ke dalam Perda RTRW itu. Kalau tidak kami masukan, maka kami melakukan pembohongan publik,” pungkas Amhar.
Sayangnya Aliansi Natuna Menggugat tak begitu tertarik dan merasa yakin akan jawaban dan berbagai paparan yang disampaikan baik oleh Bupati Natuna Wan Siswandi maupun Ketua DPRD Natuna Daeng Amhar.
Aliansi Natuna Menggugat bahkan menaruh curiga adanya kebohongan dan rekayasa, serta perampasan sepihak kawasan yang semulanya hanya sebatas Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) untuk kebutuhan lokal, tetapi berubah menjadi wilayah pertambangan dengan lebih besar.
Perubahan penambahan luas kawasan pertambangan tersebut, dinilai bukan untuk kepentingan seluruh masyarakat Natuna. Tetapi memang sengaja dibuat untuk kepentingan sekelompok orang, membuka pintu masuk bagi pengusaha tambang pasir kuarsa yang saat ini sudah berhasil membebaskan lahan warga.
“Kami minta tambang pasir kuarsa atau apalah namanya dihentikan. Contoh jual kayu surat tidak ada dijegat polisi. Kemarin si Awi ambil pasir, karena surat tak ada kena tangkap. Tapi kalau perusahaan besar yang kerja, macam Hendy tak kena tangkap, aman-aman aja, pasirnya sama juga,” beber Bahari, anggota Aliansi Natuna Menggugat.
Ia menilai hukum terkesan tajam ke bawah tumpul ke atas., artinya lanjut Bahari, Aliansi Natuna Menggugat tidak setuju adanya kegiatan penambangan pasir kuarsa atau silika untuk dibawa keluar dari Pulau Bunguran Besar, Natuna.
“Kami tidak mau Natuna ini habis gitu-gitu aja. Contoh macam di Pinang habis. Kami bukan iri warga Telok Buton dapat uang dari jual lahan, tapi kami sayangkan pasir dibawa keluar,” ujar Bahari.
Selain dinilai berdampak buruk bagi lingkungan kedepan, Aliansi Natuna Menggugat juga menyayangkan masuknya pertambangan pasir kuarsa terkesan menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
“Saya hadir dan siap mati, demi cinta saya terhadap Natuna, hari ini masyarakat sudah terkotak-kotak, ini merusak persatuan, menimbulkan konflik dan kegaduhan,” cetus salah satu peserta.
Lanjut Bahari, selain menyimpulkan tidak adanya urgensi tambang pasir, Aliansi Natuna Menggugat juga menduga revisi Perda RTRW pasca rapat lintas sektoral, ketika mengetahui adanya potensi tambang pasir kuarsa di Natuna yang bisa dikelola menjadi PAD, tidak melalui kajian akademik perubahan, karena prosesnya begitu cepat.
“Kesimpulan dari RDP tidak ada urgensi tambang pasir dilakukan di Natuna, karena keunggulan Natuna bukan pada tambang pasir, melainkan perikanan, pariwisata dan perkebunan kelapa, cengkeh serta karet,” tambah anggota lainnya diluar ruangan rapat.
Sementara Ketua DPRD Natuna, Daeng Amhar selaku pemimpin rapat diakhir kegiatan mengatakan, digelarnya RDP kali ini untuk mendengar pendapat bukan untuk mengambil keputusan.
“Apa yang menjadi masukan dari aliansi ini akan menjadi pertimbangan kami, seperti yang disampaikan pak bupati mohon kepada pihak tambang kalau memang izinnya belum lengkap ditunda dulu dan segera melengkapi semua perizinannya,” kata Amhar.
Menurutnya, jika pihak perusahaan belum mengantongi izin yang diminta pemerintah maka tidak dibenarkan untuk melakukan eksploitasi, namun untuk saat ini hanya bisa melakukan eksplorasi.
Turut hadir mendampingi Ketua DPRD Natuna saat itu, Wakil Ketua I DPRD Natuna, Daeng Ganda Rahmatullah, Ketua Pansus RTRW, Marzuki, dan beberapa anggota DPRD. Selain dihadiri Bupati Natuna, Wan Siswandi, RDP tersebut juga menghadirkan Alias Wello selaku narasumber dan perwakilan perusahaan penambang pasir kuarsa. (*)
Sumber : Koran Perbatasan